Selasa, 06 Maret 2012

Anak Aneh Itu

Anak Aneh Itu
by: Jenny Pirkle
from: Teen Ink; Love and Relationship

 Tidak terlalu banyak pengunjung, mungkin hanya sekitar tiga puluh orang, dan tak seorang pun memperhatikan panggung kecil itu. Aku maju lebih dekat, mencari jalan di antara meja-meja kecil yang tampak kepayahan menunjang payung-payung raksasa, meski waktu itu sudah gelap dan langit yang hitam, dengan beberapa percikan bintang di sana-sini, tidak menunjukkan tanda-tanda akan hujan.

Entah apa yang menarikku untuk maju ke barisan paling depan, hanya saja aku merasakan tatapan aneh itu, yang berpindah-pindah dari bibir ke mataku, lalu kembali lagi. Tatapan itu asalnya dari anak lelaki berpenampilan aneh, berhidung besar, yang duduk di pinggir panggung. Dia mengenakan jaket jeans, T-shirt hitam, dan celana jeans longgar. Kulit pucatnya hampir-hampir tampak kuning dalam sorotan lampu-lampu jalanan. Rambutnya hitam sekali, dan terjuntai hingga ke sepasang mata hijau paling indah yang pernah kulihat.

Rambut dia bagus, sementara aku tidak. Aku tersandung batu-batu kerikil, karena terlalu terhanyut dalam perasaan dekat yang tak terucapkan ini. Waktu aku mengangkat wajah lagi, dia sudah tidak ada. Aku maju beberapa langkah, dan menemukan dia di depan panggung, sedang menyingkirkan kaleng susu yang berfungsi sebagai tempat koin untuk band-nya, seolah hendak menyatakan bahwa dia tak mau menerima uang untuk apa yang akan dilakukannya.

Nada gitar terakhir dalam lagu itu makin pelan ketika seorang anak lelaki membisikkan "terima kasih" ke mikrofon dan tersenyum pada dua atau tiga orang yang memberikan tepuk tangan. Lalu dia menoleh sekilas pada si anak berpenampilan aneh itu dan mengangguk sedikit. Anak itu balas mengangguk, hampir-hampir tidak kentara, lalu melompat ke panggung untuk bergabung dengan si pemain gitar merangkap penyanyi, si pemain saksofon dan drum. Lalu anak berpenampilan aneh itu mengeluarkan biolanya dari kotak dan mulai menggosok-gosokkan penggeseknya pada senar-senar biola dengan sangat lembut, hingga aku bertanya-tanya apakah dia punya semacam ikatan yang tidak sehat dengan benda itu.

Aku langsung tahu lagu yang dimainkannya; lagu Dave Matthews. etiga anak lainnya bermain cukup bagus untuk ukuran remaja, membangun nada-nada hingga ke satu titik yang membuatku yakin i pemain biola akan beraksi. Benar saja; dia masuk dengan sempurna, gerakannya begitu alami hingga seolah dia tidak bergerak sama sekali.

Aku yakin para anggota band lainnya masih terus bermain, dann aku juga yakin orang-orang di belakangku tidak berhenti mengobrol untuk menikmati pertunjukan itu. Aku positif bahwa saat ini masih malam di Savannah, Georgia, dan aku tidak ragu sedikitpun bahwa anak berpenampilan aneh itu bermain hanya untuk satu orang. Namun, begitu musik mengalir dari tangannya, bad itu terdia, orang-orang juga terdiam. Jalanan serasa dibanjiri oleh cahaya yang paling terang.

Anak itu memainkan biolanya hanya untukku.

Dan untuk dirinya sendiri. Dengan segera kusadari bahwa cahaya yang menyelimuti kami berdua terpancar lagsung dari sepasang mata hijaunya yang menakjubkan itu, bukti dari api yang berkobar terang did alam dirinya. Cahaya itu bagaikan bola yang mengangkat kami ke angkasa untuk bersatu dengan bintang-bintang dan bergabung dengan orkestra langit yang bermain begitu dahsyat hingga hanya telinga mereka sendiri yang sanggup mengikuti nada-nada tak kentara itu. Gerak-gerik anak itu begitu luwes hingga aku nyaris tak percaya dia menghasilkan musik itu melalui alat yang dimainkannya, sebab kubayangkan dia sekedar memerintahkan nada-nada itu untuk terjadi begitu saja.

Sementara itu, aku sendiri tak punya alat musik. Aku hanya bisa eksis, berdiri terpaku, terbakar api talentanya.

Dia terus bermain.

Dia memainkan biolanya, dan tidak penting lagi bahwa dia hanyalah anak lelaki berpenampilan aneh. Dia terus bermain, dan dia tak peduli bahwa kaleng susunya masih tetap kosong, tersembunyi dari pandangan. Dia terus bermain, dan jalanan serasa terbuat dari emas, dan bintang-bintang di atas Savannah adalah penontonnya, dan sahabat-sahabatnay. Ketika dia menatapku lagi dengan sorot mata bening itu, aku jatuh cinta padanya akrena dia telah membuktikan bahwa kalau kita benar-benar mencintai hidup, hidung besar dan kaleng susu yang kosong tidak lagi penting.

Akhirnya, ketika aku kembali bisa merasakan jalanan di bawahku, kucari dia, tapi dia sudah pergi. Seorang anak lelaki lain membisikkan "terima kasih" ke mikrofon dan tersenyum pada dua atau tiga orang yang bertepuk tangan.

Senin, 05 Maret 2012

Kembali Hidup

Kembali Hidup
by: George L. Newton III
from: Teen In; Love and Relationship

Sebelum mengenal dia, aku tidak tahu arti kehidupan. Ucapan-ucapan yang kulontarkan membuat orang-orang menjauhiku. Hari demi hari aku berbicara tentang kehidupan seolah-olah kehidupan itu adalah benda mati yang menarik minatku dengan cara yang paling abstrak. Aku hanyalah rongga kosong yang diisi oleh ucapan-ucapan orang lain. Aku domba yang dengan mudahnya dituntun kemana saja.

Aku mengisi kepalaku dengan kebohongan-kebohongan. Aku bisa meyakinkan diriku," Aku tidak kesepian. Aku tidak butuh cinta." Tapi dia bisa membaca isi hatiku sesungguhnya. Dia mencoba menarikku kembali ke dalam kehidupan, tapi aku bertahan. Aku tak sanggup merasakan cinta. Aku akan membuatnya terluka. Dia masih terus meminta, tapi aku tak mengerti. Satu-satunya kata yang kukenal hanyalah "tidak". Namun, dia terus meminta.

Minggu pertama itu terus kupandangi diriku. Apa yang dilihatnya pada diriku? Warna mataku masih tetap suram, seperti biasa. Rambutku juga masih tetap tak beraturan. Masih terngiang kata-katanya di telingaku. Kenapa dia mencintaiku? Hatiku terlompat. ku ingin tahu. Wajahnya memucat pias saat akhirnya aku mengiyakan.

Sambil duduk di deretan belakang, dengan satu lengan memeluk bahunya (aku meniru ini dari sebuah film yang aku sudah lupa-lupa ingat), sekonyong-konyong aku mengerti, apa yang dilihat di mata masing-masing, oleh pasangan di layar itu. Masih kuingat saat kamu saling mengucapkan selamat malam. Cahaya lembut di beranda. Bibir kami bersentuhan ragu-ragu. Sepasang matanya yang berbinar-binar saat dia perlahan-lahan terbuai. Aku rela menjual jiwaku demi bisa mengulangi kembali saat itu. Suara pelan tawanya ketika ayahnya memanggil dari dalam rumah akan senantiasa menghantuiku.

Keesokan harinya dunia terasa berbeda, tidak lagi seperti dunia yang selama tujuh belas tahun ini kudiami. Ada yang berubah seiring langkah ringan kakiku menuju rumah. Dunia terasa lebih lembut. Lebih aman. Dia telah mengajariku untuk mendengarkan. Kini aku bisa merasakan sesuatu yang selama ini kucoba tak hiraukan. Untuk pertama kalinya aku bisa bicara tentang diriku. Pikiranku mulai bekerja. Kalau dia bisa begitu menyayangiku, bagaimana dengan yang lain? Keluargaku. Teman-temanku. Aku mulai membalas cinta yang kurasakan. Kemarin kudapati diriku tersenyum. Mungkin aku akan mencobanya lagi.

Sebelumnya aku menganggap cinta sebagai benda mati yang takkan pernah bisa memengaruhiku. Aku bisa melindungi diri dengan ucapan-ucapanku. Dia telah membantuku merobohkan segala kebohongan itu. Membuatku mengerti tentang cinta. Tentang kehidupan. Dia mengajariku lebih banyak daripada buku mana pun. Aku tahu siapa diriku. Sebelum bertemu dengannya, aku tak pernah tahu makna kehidupan.

Minggu, 04 Maret 2012

Say Goodbye !

Hallo kawan-kawan semua. Akhirnya ada kesempatan buat posting juga. Kenapa judulnya gitu? ya tentu saja karena memang, TUGAS-TUGAS ARE OVEEERRR YEAAA
sebenernya udah ngerasa cukup santai waktu yang namanya PAPER itu dikumpulkan. rasanya mendadak comfortable gitu. tapi ternyata kenyamanan itu ga berlangsung lama, masih ada ujian paper, pidato, dan KTI. eh tiba-tiba jadi inget waktu bu ketip ngajar di kelas trus ngomong masalah KTI nya. what a pity mam, kita ga dengerin sama sekali gara-gara euforia pengumpulan paper.

dan alhamdulillah hari ini ujian paper selesaaaaaaiii 

oh ya, aku mau cerita dikit tentang pengalamanku waktu malming kemarin. yap, sabtu kemarin ga sperti biasanya, aku melakukan sesuatu yang berarti. Sabtu kemarin aku, bintang, rian, via, dan dikung ke rumahnya bintang. kita disana makan MIE GALAU
saranku buat mie satu ini, kalo yang emang suka pedes dan perutnya tahan banting, silahkan coba. tapi kalo buat yang perutnya ga tahan, mending jangan deh. soalnya mie ini kayak super trap. pas dimakan rasanya enaak banget, kerasa pedesnya tuh pelan-pelan. tapi ilangnya pelan-pelan juga..


aku awalnya santai makan itu. wah enak ya, iya enak ga pedes-pedes banget. tapi ga lama.. perutku panas. perih. berbunyi. tengtengtengtengteng menandakan aku harus stop makan karna emang PERIH BANGET.
dikugn yang suka pedes ekstrim aja ga kuat makannya. rian makan sampe mukanya merah, pokoknya ga ada yang tahan. alhasil mienya yang extreme HOT ga abis. mubazir ya. tapi siapa yang mau makan itu.
kalo kata temen-temenku mendingan mie setan. soalnya kalo mie setan pedesnya langsung, jadi kita langsung minum, langsung stop, langsung huh hah huh hah. kalo mie galau pedesnya pelan-pelan.. ilangnya jga pelan-pelan.. seperti perasaan galau yang merambat di hati. pelan-pelan tapi pasti menyakitkan..

nah, setelah makan mie galau, kita keluar buat beli nasi bungkus untuk dibagikan ke orang-orang di jalan. abis beli trus kita balik lagi ke rumah bintang. pertamanya balik dengan niatan mau pinjem mobil papanya bintang, tapi ga boleh sama papanya. yaudah deh kita bagiin nasinya naik motor.

trus sekitar jam 10an kita berangkat ke daerah kelenteng. disana banyaak banget tunawisma-tunawisma yang tidur di jalan. aku waktu itu rabun, ga pake softlens. jadi kalo mau ngasih harus dipegangin biar ga jalan kemana-mana. like a boss emang.

tapi yang jelas, malam itu aku terharu banget. aku belajar banyak dan AKU PENGEN LAGI. bapak-bapak pertama yang aku datengin adalah pak tukang becak. beliaunya lagi tidur dengan nyenyak di becaknya tanpa selimutan apapun. aku sama via bingung mau ngasihnya gimana. paknya tidur, mulet-mulet, kita mundur-mundur. sampek akhirnya bapaknya bangun soalnya kaget. hehe maaf ya pak

abis itu kita beranjak ke pak-pak lainnya. pak-pak yang kedua ini langsung bangunin temennya buat ngasih tau kalo ada makanan. beliau juga mengarahkan kami buat membagi makanan ke temen-temennya di sekitar situ. aku ngerasa seneng sekaligus ngenes. mereka liat makanan langsung dibuka trus dimakan. pasti laper banget ya. apalagi malem itu dingin dan hujan rintik-rintik. mereka apa ga punya keluarga di rumah ya? aku cuma bisa bagiin dengan hati miris.

sedikit percakapanku sama bapak-bapak tunawisma disitu

aku: pak.. orang-orang disini udah saling kenal semua ya pak?
paknya: iya mbak. senasib disini. rata-rata mulung. kalo pak yang itu mbecak, kalo yang ini biasanya mulung sama saya
aku: nggak dingin pak? *bego banget ya aku tanya gini
paknya: udah biasa mbak tidur disini..
aku: ooh.. tapi nggak kesepian kan pak, soalnya banyak temennya?
paknya: nggak mbak..

bahkan waktu di perjalanan pulang, pak-pak lain yang kita kasih nasi mendoakan semoga kita sukses dan banyak rezeki. God, kenapa mereka harus mengalami hal kayak gini? apa ga ada yang lain yang bisa aku lakuin? :(

sepulangnya aku belajar banyak hal. selama ini aku kalo disuruh makan masih ogah-ogahan. sekalinya makan juga sering ga abis trus aku tinggal gitu aja. padahal di jalan-jalan banyak yang butuh makanan. aku makanan masih suka pilih-pilih. ya Allah, maafin aku ya :(
kalo tidur aku masih suka bawel. yang kepanasan lah, yang gak pewe lah, padahal mereka tidur ga pake alas apa-apa. bahkan ga pake selimut apapun. aku yang tidur di kamar yang anget dan bersih gitu masih aja suka ngeluh. ya Allah maaaaaaaaff TT

mulai sekarang aku bakal semangat ! aku mau jadi psikiater supaya aku bisa ngopeni mereka. kalo aku jadi dokter dulu kan bisa ngobatin mereka yang sakit :D aku berharap suatu saat nanti aku punya waktu buat ngobrol lama sama mereka. ya Allah, makasih atas pengalaman ini. 

aku janji kalo makan aku abisin sampe bersih, aku bakal bersyukur banyak-banyak, aku bakal ngurangin mengeluh, aku bakal memperbaiki sikapku selama ini. ya Allah makasih ya udah memberiku guru-guru seperti mereka :') uzinator yo lewat.

serius rek, sebelum aku terjun langsung, aku ga terlalu peduli dengan ungkapan "jangan ngeluh, masih banyak yang punya masalah lebih dari kamu". aku ngerasa ungkapan itu klise. tapi asli, ungkapan itu bener dan nyata. kalian coba aja sendiri kapan-kapan. lumayan nambah ilmu :)